Reseller hosting

25 Desember 2012

Antara Gratifikasi dan Hadiah


Bagi sebagian orang mungkin sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan kata Gratifikasi. Tapi Saya lebih senang menafsirkan kata tersebut dengan kata yang mendefinisikan sesuatu yang berarti “gratis di kasih”. 
Gratifikasi menurut kamus hukum berasal dari Bahasa Belanda, “Gratificatie” , atau Bahasa Inggrisnya “Gratification“ yang diartikan hadiah uang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,1998) Gratifikasi diartikan pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1), Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ada beberapa contoh penerimaan gratifikasi, diantaranya yakni:
  • Seorang pejabat negara menerima “uang terima kasih” dari pemenang lelang;
  • Suami/Istri/anak pejabat memperoleh voucher belanja dan tiket tamasya ke luar negeri dari mitra bisnis istrinya/suaminya;
  • Seorang pejabat yang baru diangkat memperoleh mobil sebagai tanda perkenalan dari pelaku usaha di wilayahnya;
  • Seorang petugas perijinan memperoleh uang “terima kasih” dari pemohon ijin yang sudah dilayani.
  • Pemberian bantuan fasilitas kepada pejabat Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif tertentu, seperti: Bantuan Perjalanan + penginapan, Honor-honor yang tinggi kepada pejabat-pejabat walaupun dituangkan dalam SK yang resmi), Memberikan fasilitas Olah Raga (misal, Golf, dll); Memberikan hadiah pada event-event tertentu (misal, bingkisan hari raya, pernikahan, khitanan, dll).
Pemberian gratifikasi tersebut umumnya banyak memanfaatkan momen-momen ataupun peristawa-peristiwa yang cukup baik, seperti : Pada hari-hari besar keagamaan (hadiah hari raya tertentu), hadiah perkawinan, hari ulang tahun, keuntungan bisnis, dan pengaruh jabatan. Dengan berdalih “sekedar bantuan”, “ikhlas”, “tanpa pamrih”, “rasa simpatik”, dll, gratifikasi ini memang sangat mudah untuk disamarkan dan dibalut cantik dengan hal-hal demikian. Hingga pada akhirnya terucap kata “terima kasih karena sudah dibantu”, “lumayan gratis di kasih..”

Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain sebagai penghargaan atau penghormatan terhadap sesuatu yang telah dilakukannya. Biasanya hadiah merupakan pemberian terhadap prestasi dan keberhasilan seseorang.
A. Esensi Hadiah
Memahami hadiah sebagai salah satu cara untuk menyatukan hati antara pemberi dan penerima dapat dilihat dalam beberapa riwayat sebagai pedoman, dari perintah memberi hadiah, prioritas penerima hadiah dan larangan mengaburkan pemahaman antara hadiah dengan upah. Pemahaman tentang esensi hadiah sangat penting dalam rangka memberikan pemahaman yang benar tentang hadiah, sehingga tidak bias antara hadiah dengan bisnis yang profit oriented.
1. Perintah Memberi Hadiah
Salah satu uslub yang digunakan Rasul dalam membudayakan saling memberi hadiah adalah dengan perintah memberi hadiah. Perintah akan dilaksanakan jika diiringi dengan penjelasan kemungkinan gagalnya perintah. Hal itu terlihat dalam sabda Rasul berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: Saling memberi hadiahlah kamu, karena hadiah itu dapat menghilangkan perasaan tidak enak di hati. Janganlah seseorang merasa tidak enak ketika memberi hadiah dengan sesuatu yang tidak berharga. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan al-Turmuzi, kitab wala’ no.2056)
Dalam Hadis tersebut Rasulullah berpesan agar umat Islam saling memberi hadiah. Tidak ada alasan untuk tidak memberi hadiah, karena dalam hadiah yang terpenting adalah nilai tanda kasih antara pemberi dan penerima. Sehingga jenis, kualitas atau harga barang yang akan dihadiahkan tidak menjadi terlalu penting. Frase وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ (analog mengenai sesuatu yang kecil dan tidak memberatkan), sehingga semua orang dapat saling memberi hadiah kepada yang lain.
Dalam riwayat lain terdapat perintah saling memberi hadiah, sabda Rasul: "saling memberi hadiahlah kamu niscaya kamu akan saling menyayangi"( Sunan al-Baihaqi, juz 6, h. 169) . Dalam konteks ini, hadiah merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan rasa saling menyayangi.
2. Prioritas Orang yang akan diberi hadiah
Pemberian hadiah bertujuan untuk merajut rasa saling menyayangi. Untuk mencapai tujuan itu, ada prioritas dalam penentuan penerima hadiah. Sabda Rasul, yang merupakan dialog antara Rasul dengan ummul mukminin 'Aisyah, di bawah ini dapat dijadikan acuan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
Artinya:'Aisyah menyatakan saya menyatakan kepada Rasul Saw bahwa saya mempunyai 2 orang tetangga, maka kepada siapa diaantara keduanya yang saya beri hadiah? Rasul menjawab: Berilah hadiahmu kepada tetangga yang paling dekat rumahnya denganmu (H.R. Al-Bukhari kitab hibah no. 2405, Abu Daud, kitab adab no. 4488. dan Ahmad bin Hanbal)
Keinginan untuk memberi hadiah kepada seseorang, dapat saja dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya karena kedekatan emosional, kedekatan hubungan kekeluargaan dan kedekatan tempat tinggal. Ketika ditemukan kesulitan untuk menentukan penerima hadiah, maka pesan Rasul menjadi sangat penting.

B. Sikap Penerima hadiah

Hadiah yang diberikan seseorang mempunyai makna yang dalam dan hanya pemberi yang mengetahui tujuan pemberian hadiah dimaksud. Harus ada ketajaman instink untuk mendeteksi atau meidentifikasi hadiah sebagai hadiah murni atau sebagai sesuatu yang patut diduga ada kaitannya dengan jabatan yang sedang diemban.
Penerima hadiah juga dipesankan Rasul agar reaktif ketika menerima hadiah. Ketika menerima hadiah ada tindakan yang menunjukkan respons terhadap perlakuan yang diterima. Tidak diam saja dengan maksimal ucapan terima kasih. Keberimbangan aturan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu dibalik aturan tersebut "agar tidak berhutang budi"

1. Mengidentifikasi hadiah

Untuk menghindari misinterpretasi tentang hadiah dan biasanya antara hadiah dengan sogokan, seperti yang dinyatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, bahwa di masa Rasulullah Saw. hadiah adalah hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa saja berarti sogokan. (al- Bukhari, op.cit., h. 991) Serta untuk membedakan antara hadiah dengan tukar menukar, maka perlu diketahui bagaimana aturan Islam tentang hadiah dapat dilihat dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ قَالَ لأَصْحَابِهِ كُلُوا وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Abu Hurairah menyataka bahwa Rasulullah apabila diberi makanan, beliau selalu menanyakan kepada si pemberi hadiah apakah pemberian itu hadiah atau sedekah. Jika pemberian itu sedekah, Rasul tidak memakannya dan menyuruh para sahabat untuk memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah menepukkan tangannya dan makan bersama sahabat. (al-Bukhari, kitab hibah no. 2388, juz 2, h. 984, Muslim, zakat no. 1790, al-Turmuzi, kitab zakat, no. 592, al-Nasa'i , kitab zakat no. 2566)
Ketentuan dalam hadis di atas memberikan aturan agar penerima hadiah tidak hanya bahagia atau senang dengan hadiah yang bakal diterima, akan tetapi selalu mengidentifikasi hadiah yang diserahkan, termasuk yang boleh diterima atau tidak. Bagi kita saat ini, kekuatan identifikasi ini merupakan salah satu yang sangat urgen untuk dilakukan, karena hadiah dapat saja berubah wajah sebagai jebakan. Jika pada Rasul upaya itu dilakukan dalam rangka membedakan sedekah dengan hadiah, maka saat ini identifikasi hadiah ini untuk membedakan antara suap/risywah/uang pelicin dengan hadiah.
2. Menerima Hadiah
Niat baik seseorang memberi hadiah kepada orang yang diinginkannya, disambut baik dengan adanya perintah menerima hadiah. Tentu saja hadiah yang murni hadiah, dan tidak ada indikasi hadiah tersebut mengandung suatu maksud mengarah pada penyelewenang. Pada bahasan ini, perimbangan aturan tersebut dapat dilihat dalam pesan Rasul berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ … وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: … kalau saya diberi hadiah zira' atau kira' (gambaran sesuatu yang kurang berharga/tidak bernilai), sungguh aku akan terima. (al-Bukhari, kitab hibah, no. 2380)
Pesan ini memberikan arahan bagi orang yang diberi hadiah agar tidak melihat harga, jenis atau nilai sesuatu yang dihadiahkan. Menerima atau tidak hadiah tidak didasarakan karena alasan harganya mahal atau murah, kualitasnya baik atau tidak baik, atau menarik atau tidak begitu menarik. Kata " ذِرَاعٌ " dalam hadis, adalah simbol sesuatu yang tidak banyak manfaatnya. Karena jika hadiah tersebut diiabaratkan daging, maka pemberian zira' itu tulang kaki yang sedikit sekali dagingnya. Begitu juga dengan kata كُرَاعٌ (jika pada maanusia :tumit) yang mungkin sangat sedikit sekali dagingnya.
Adanya pernyataan Rasul bahwa beliau menerima sesuatu hadiah meski pun kecil nilainya, menunjukkan bahwa dalam pemberian hadiah yang penting adalah maksud baik, ketulusan hati dan niat baik memberi hadiah. Kalaupun ada alasan untuk menerima atau tidak hadiah yang diberikan seseorang, penerima hadiah hanya perlu hati-hati adanya indikasi bahwa hadiah tersebut hanya berkedok hadiah, sementara yang sebenarnya bukan hadiah, mungkin sogokan, suap, jebakan dan sejenisnya.
3. Memberikan balasan Atas Hadiah Yang Diterima
Perintah memberi hadiah disampaikan dengan menggunakan shigat musyarakat (saling) bukan hanya sebagai penerima, tetapi di samping menerima juga memberi. Konsistensi aturan tersebut terlihat dari contoh yang dilakukan oleh Rasulullah dalam hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَ ا
Artinya: Dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw. menerima hadiah dan Rasul selalu memberikan balasan kepada pemberi hadiah (al- Bukhari,ibid., h. 988, Abu Daud, op.cit, h. 290).
Dalam hadis, Rasulullah Saw. mempunyai posisi sebagai penerima hadiah yang diberikan oleh seseorang. Kebiasaan Rasul selalu membiasakan dirinya ketika menerima hadiah, dengan memberikan balasan yang sama dengan hadiah yang diterimanya.
Menurut Abu Syaibah, Rasul malah membalas dengan yang lebih baik dari hadiah yang diterimanya.( al-Kahlani,., h. 90) Dilihat dari hadis tersebut di atas, sepertinya Rasul mewajibkan dirinya untuk selalu memberikan balasan terhadap hadiah yang diterimanya. Namun, itu tidak menunjukkan bahwa memberikan balasan dari hadiah yang diterima merupakan suatu yang wajib dilakukan, karena meskipun Rasul melakukannya terus menerus, itu disebabkan oleh kemuliaan akhlak Rasul. Yang dimaksud dengan يثيب عليها dalam hadis adalah orang yang menerima hadiah menggantinya minimal sesuai/seharga dengan hadiah tersebut.( al-Syaukani, h. 103) Dalam teladan yang dicontohkan oleh Rasul ada rahasia yang terkandung di dalamnya. Pemberian hadiah dari rakyat kepada pemimpin atau pejabat merupakan suatu wujud dari rasa kasih sayang antara pemimpin dan yang dipimpin.
Untuk saat ini, rasanya apa yang dilakukan oleh Rasul dapat dijadikan contoh oleh para penguasa atau pemimpin agama dalam merespons pemberian hadiah kepadanya. Dari hadis di atas, kita dapat memperhatikan perbedaan pendapat para fuqaha’ (dalam al-Kahlani, op.cit., h. 91, bandingkan dengan al-Syaukani, ibid., h. 103) di bawah ini:
1. Pendapat Hadawiyah : wajib memberikan yang sama nilainya dengan hadiah yang diterima, sesuai dengan kebiasaan, karena asal pada benda adalah pertukaran.
2. Menurut Yahya: jika yang diberikan berbentuk barang maka dengan barang yang sepertinya dan jika dengan harga, maka yang seharga dengannya.
3. Syafi’i dalam qaul jadidnya berpendapat: bahwa pemberian yang mengharapkan balasan adalah batal dan tidak terjadi, karena itu sama dengan jual beli dengan harga yang tidak jelas.
4. Sebagian golongan Malikiyah berpendapat: wajib memberikan balasan terhadap pemberian yang diterima, jika si pemberi tidak menyatakan apa-apa. Atau dalam kondisi si pemberi memang meminta balasan yang setimpal, seperti pemberian dari orang miskin kepada orang kaya, tidak sebaliknya (pemberian dari orang kaya kepada yang miskin, penerima tidak perlu membalas)
Apabila pemberi tidak rela dengan balasan yang diberikan, maka:
1. Suatu pendapat: harus memberikan balasan seharga pemberian yang diberikan kepadanya.
2. Pendapat lain: tidak harus seharganya, tetapi sesuai dengan yang diinginkan oleh pemberi.
Agar hadiah tetap dalam esensinya, meskipun ada anjuran dan contoh dari Rasul untuk memberikan balasan, hadiah seharusnya tidak berubah menjadi tukar menukar atau jual beli dengan bentuk barter. Pemberian balasan terhadap hadiah yang diterima telah dipesankan oleh Rasulullah, agar sesuai dengan kemampuan yang ada pada penerima hadiah, bukan sesuai dengan keinginan pemberi hadiah. Dalam pasan Rasul pada hadis di bawah ini, terlihat kesalahan pemahaman pemberi hadiah yang mengharapkan balasan dari penerima. Bahkan ada indikasi pemaksaan besaran balasan sesuai dengan keinginan pemberi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَهْدَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةً مِنْ إِبِلِهِ الَّتِي كَانُوا أَصَابُوا بِالْغَابَةِ فَعَوَّضَهُ مِنْهَا بَعْضَ الْعِوَضِ فَتَسَخَّطَهُ فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ يَقُولُ إِنَّ رِجَالا مِنَ الْعَرَبِ يُهْدِي أَحَدُهُمُ الْهَدِيَّةَ فَأُعَوِّضُهُ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا عِنْدِي ثُمَّ يَتَسَخَّطُهُ فَيَظَلُّ يَتَسَخَّطُ عَلَيَّ وَايْمُ اللَّهِ لا أَقْبَلُ بَعْدَ مَقَامِي هَذَا مِنْ رَجُلٍ مِنَ الْعَرَبِ هَدِيَّةً إِلا مِنْ قُرَشِيٍّ أَوْ أَنْصَارِيٍّ أَوْ ثَقَفِيٍّ أَوْ دَوْسِيٍّ
Artinya: Ada orang memberikan hadiah kepada Rasul kemudian Rasul membalasnya dengan separoh harganya, orang itu marah kemudian Rasul menyatakan tidak akan menerima hadiah dari orang tersebut dan dari sukunya . (H.R. al-Turmuzi, kitab manaqib no. 3881, Abu Daud , kitab buyu' no. 3070)
Pada hadis di atas, Rasul menceritakan pengalamannya ketika menerima hadiah dari salah seorang bangsa Arab. Ketika Rasul memberikan balasan dari hadiah yang diterimanya dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan pemberi, orang tersebut marah. Kemudian Rasul meberikan balasan sesuai dengan keinginan orang tersebut. Namun, dengan kejadian itu Rasul memutuskan untuk tidak menerima hadiah dari suku tersebut.
Tindakan pemberi hadiah yang memaksakan harus mendapatkan balasan sesuai dengan keinginan dan harapannya dapat dijadikan alasan untuk menolak hadiah yang diberikan. Pemaksaan akan menimbulkan tidak saling rela, akan muncul rasa kesal dan tidak senang, sehingga keluar dari tujuan hadiah untuk menimbulkan rasa simpati yang berbuah pada rasa sayang.

4. Tidak Menolak Hadiah, kecuali dengan Alasan

Pemberian yang murni hadiah harus diterima, sementara hadiah yang bias dengan riba, jual beli atau barter harus dijadikan alasan untuk menolak hadiah. Hadis Rasul berikut dapat dijadikan pegangan ketika menerima hadiah.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا أَرَادَتْ أَنْ تَشْتَرِيَ بَرِيرَةَ فَأَرَادَ مَوَالِيهَا أَنْ يَشْتَرِطُوا وَلاءَهَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اشْتَرِيهَا فَإِنَّمَا الْوَلاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ فَاشْتَرَتْهَا فَأَعْتَقَتْهَا وَخَيَّرَهَا مِنْ زَوْجِهَا وَكَانَ حُرًّا وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَحْمٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قِيلَ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ فَقَالَ هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّة ٌ
Artinya: Ketika 'Aisyah bermaksud membeli Barirah, lalu maulanya menginginkan wala' nya, lalu 'Aisyah menyampaikannya kepada Rasulullah, Rasul menyuruh untuk membelinya. Rasul juga menjelaskan bahwa wala' itu adalah hak orang yang memerdekakannya. 'Aisyah membelinya dan memerdekakannya dan memberikan pilihan kepada suaminya. Akhirnya ia menjadi wanita merdeka. Ketika Rasul diberi daging, beliau menanyakan dari pemberian siapa ?, dijelaskan bahwa itu sedekah dari Barirah. Rasul kemudian menjelaskan daging itu sedekah untuk Barirah, tapi hadiah untuk Rasul dan keluarganya. (al-Bukhari , kitab zakat no. 1398, Muslim, kitab zakat, no. 1787, 1788, al-Darimi, kitab al-thalaq, no. 2187, al-Nasa'i kitab talaq no. 2188, 3393, 3394, 3396, 3399, 3400, buyu no. 4564, Malik, kitab al-thalaq no. 1038,)
Atas semua itu, ada distingsi yang dibuat oleh Rasul ketika menerima hadiah atau sedekah. Ketika tidak ada alasan yang mengharuskan beliau menolak suatu pemberian, maka beliau menerimanya sebagai hadiah. Rasul memang tidak diperbolehkan menerima sedekah. Kejujuran dalam mengemukakan alasan ketika menolak hadiah merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Setiap aktivitas keseharian umat Islam harus dilandasi oleh kejujuran, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.
Berlaku jujur akan berimplikasi positif dalam semua tingkah laku dan sikap seseorang dan akan dapat menenangkan gejolak yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kejujuran akan membuahkan transparansi dalam berbagai hal . Sehingga tidak akan memunculkan anggapan negatif atau adanya sikap menduga-duga bagi orang lain. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah saw. berikut:
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُ أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا وَحْشِيًّا وَهُوَ بِالأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ أَمَا إِنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ إِلا أَنَّا حُرُمٌ
Artinya: Abdullah bin ‘Abbas dari al-Sha’ab bin Jassamah ketika ia menghadiahkan keledai kepada Rasul, lalu Rasul menolak pemberiannya. Ketika Rasul melihat kekecewaan diwajah Sha’ab, Rasul mengatakan: “sesunggungnya kami tidak menolak hadiahmu, melainkan saya sedang ihram tidak bisa menerima hadiah itu”
( al- Bukhari, Muslim, al-Turmuzi, al-Nasa'i, Ibnu Majah, Malik, al-Muwaththa’ Malik, , Beirut, Dar al-Fikr, al-Darimi,)
Hadis di atas, menyatakan Rasul sangat tanggap dengan perubahan di wajah sahabatnya mengemukakan alasan peneolakan tersebut. Jawaban yang jelas dan taransparan tersebut dapat mendatangkan perasaan lega dan kecewa dan dapat menghilangkan persepsi keliru karena atas dasar menduga-duga sahabat tersebut.

Referensi :
jeffersonsh.blogspot.com/2011/10/apa-itu-gratifikasi.html
enizar-stain.blogspot.com/2009/05/pemberipenerima-hadiah.html

2 komentar:

Hallo Semua kami dari HAPPY303.COM
Agent Judi Online Terpecaya se-Indonesiaaa!!!

Kami menyediakan berbagai pilihan permainan yaitu :
- Slot game
- Casino Online
- Taruhan bola
- Tembak Ikan

Ayo raih puluhan sampai ratusan juta bersama kami.
Kami menyediakan WELCOME bonus sebesar 30 % lho dan
bonus harian sebesar Rp 5.000,-
Syarat dan ketentuan berlaku

Kami juga menyediakan free poin sebesar Rp 10.000 lho!!!
silahakan kunjungi sukahot.com ya untuk claim free point tersebut!!!
Ayo tunggu apa lagi langung kunjungi website kami di
HAPPY303.COM

Jasa Web Murah

Reseller hosting

Kabar UPI

Reseller hosting
Reseller hosting
Reseller hosting